Laporan Khusus Suarabangkalan.com
Di balik megahnya label kebebasan pers dan semangat jurnalisme independen, terselip fenomena yang memalukan: maraknya wartawan bodrex—istilah sinis untuk menyebut mereka yang mengaku jurnalis, tapi tak lebih dari pengedar amplop berseragam pers. Mereka datang tanpa undangan, menggenggam ID Card tak berafiliasi jelas, dan pulang membawa “biaya cetak” hasil dari tekanan setengah ancaman.

Fenomena ini bukan barang baru. Tapi yang membuatnya layak jadi sorotan, ia kini berkembang biak, menjamur di hampir semua lini—dari kantor camat, lembaga pemerintah, hingga perusahaan swasta. Modusnya pun mulai seragam: mencari celah kesalahan, memotret seadanya, lalu bernegosiasi untuk “tak tayang”. Liputan dibarter dengan uang, suara digadaikan pada siapa yang bersedia membayar.
Maka tercorenglah wajah jurnalistik. Maka terinjak-injaklah marwah media. Dan maka muncul kembali peribahasa yang mencubit: jeruk makan jeruk—pengkhianatan dari dalam rumah sendiri.
Berseragam Tapi Bukan Jurnalis
Dengan percaya diri, para wartawan gadungan itu menyodorkan kartu identitas berlogo asing, kadang disertai surat tugas yang tak pernah jelas siapa penanggung jawabnya. Mereka menepuk dada: “Kami wartawan.” Tapi tak tahu membedakan antara hak jawab dan hak meminta-minta.
Sebagian mendatangi kantor desa, menanyai hal teknis dengan nada menginterogasi. Jika dijawab ragu, langsung dituding, lalu disisipkan ancaman halus: “Daripada viral, lebih baik bantu cetak, Pak.” Kalimat pamungkas yang menjelaskan bahwa mereka bukan sedang mencari kebenaran—mereka sedang mencari celah untuk dapat amplop.
Etika? Tinggal Wacana
Bagi para jurnalis sungguhan, menjadi wartawan bukan sekadar menyandang kartu pers. Ia adalah profesi yang tunduk pada hukum, pada etika, dan pada nurani. Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, lembaga media wajib berbadan hukum PT, memiliki struktur redaksi, alamat kantor, serta bertanggung jawab atas semua produk jurnalistiknya.
Wartawan sejati bekerja dalam sunyi: menulis, meneliti, memverifikasi, lalu menulis lagi. Mereka berpijak pada fakta, bekerja dalam batas waktu, dan menyadari bahwa tulisannya bisa berdampak bagi orang banyak.
Mereka pula yang memahami bahwa wartawan harus punya keterampilan: menulis dengan efektif, riset tajam, komunikasi publik yang mumpuni, melek teknologi, hingga mampu berpikir analitis. Tanpa itu semua, apa yang tersisa dari wartawan selain jaket dan kartu identitas?
Menagih Tanggung Jawab
Persoalan ini bukan hanya urusan internal media. Ini ancaman bagi demokrasi. Jika publik makin tak percaya pada media karena ulah segelintir “jurnalis palsu”, maka yang runtuh bukan hanya kredibilitas lembaga, tapi juga harapan akan pers yang sehat.
Dewan Pers sejauh ini terus menerima laporan soal wartawan abal-abal. Mekanisme pengaduan terbuka bagi siapa saja yang merasa diintimidasi oleh oknum mengatasnamakan pers. Tapi masalahnya, pengawasan tidak cukup jika tidak disertai keberanian dari publik dan media itu sendiri untuk menertibkan barisan.
Wartawan bodrex akan terus menjamur selama ada ruang gelap yang dibiarkan. Selama amplop lebih dihormati daripada integritas. Dan selama profesi ini hanya dianggap jalan pintas untuk cari makan, bukan ladang untuk memperjuangkan kebenaran.
Catatan Redaksi:
Jika Anda didatangi oleh oknum yang mengaku wartawan tanpa identitas media yang jelas, menolak hak jawab, serta meminta uang dalam bentuk apa pun, Anda berhak menolak dan melaporkannya ke Dewan Pers melalui laman resmi www.dewanpers.or.id atau menghubungi (021) 3504875.(ms)