
SURABAYA – Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya tengah diterpa badai dugaan korupsi. Laporan dari sejumlah organisasi masyarakat dan lembaga anti korupsi mengungkap indikasi penyalahgunaan dana Pusat Bisnis kampus senilai miliaran rupiah. Kasus ini kini dalam penyelidikan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya.
Temuan BPK: Rp 4,7 Miliar Tak Melalui Mekanisme Sah
Pusat Bisnis UINSA dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 511/KMK.05/2009 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Unit ini mengelola berbagai usaha kampus, mulai dari travel, merchandise, catering, hingga properti dan perhotelan.
Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Timur periode 2023 menemukan adanya penggunaan langsung pendapatan tanpa mekanisme pengesahan sebesar Rp 4,7 miliar di Pusat Bisnis UINSA. Temuan lain juga mencatat masalah pada sembilan satuan kerja (Satker) Kementerian Agama dengan total nilai Rp 5,9 miliar.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Surabaya, Putu Arya Wibisana, membenarkan pihaknya menerima laporan tersebut. “Kami sedang melakukan penyelidikan terkait laporan dari aktivis dan lembaga Jawa Timur Corruption Watch (JCW). Perkembangannya akan kami umumkan setelah proses selesai,” ujarnya.

Sorotan dari Aktivis Anti Korupsi
Ketua Umum Lembaga ICON RI (Indobara Cakrabuana Anti Konspirasi Nasional Republik Indonesia), Ramot Batubara, menilai penyalahgunaan anggaran di lembaga pendidikan adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.
“Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat belajar, bukan arena bisnis demi keuntungan pribadi atau kelompok. Dari dosen, dekan, hingga rektor harus memegang integritas,” tegasnya.
ICON RI juga menyoroti dugaan penyalahgunaan wewenang di lingkup UINSA, mulai dari pengelolaan perpustakaan yang mangkrak tanpa kejelasan serah terima (final hand over), hingga kebijakan pemecatan pejabat universitas secara sepihak tanpa mekanisme terbuka.
Kontroversi Pengangkatan Dekan
Salah satu kebijakan yang dipersoalkan adalah pengangkatan Dekan Fakultas Kedokteran yang diduga tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan belum memenuhi persyaratan akademik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 56 Tahun 2015 yang telah diubah menjadi Nomor 52 Tahun 2016.
Menurut Ramot, pengangkatan tersebut melanggar pasal 42 statuta UINSA yang jelas mensyaratkan calon dekan harus PNS dan memiliki kualifikasi akademik tertentu. “Ini mengindikasikan adanya konspirasi di kalangan pejabat kampus,” ujarnya.
Menuju Laporan ke KPK
ICON RI mengaku tengah mempersiapkan berkas tambahan untuk memperkuat laporan, yang rencananya akan diserahkan tidak hanya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, tetapi juga ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
“Kami melihat ini berpotensi melanggar UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semua dokumen sedang kami siapkan,” tegas Ramot.
Pewarta : Dannisa Putri Anoraga Editor : Wisanggeni