
Suarabangkalan.com – Di ujung jalan kecil yang membelah Desa Paka’an Laok, Dusun Sumberkara, Kecamatan Galis, Bangkalan, berdiri sebuah rumah sederhana berdinding bata merah. Tak ada papan nama, tak pula terlihat bangku tunggu layaknya klinik. Tapi rumah ini tak pernah sepi dari orang yang datang—bukan untuk berobat ke dokter, melainkan untuk sebuah terapi yang diwariskan ribuan tahun lalu: bekam.
Ustaz Multazam, pria paruh baya dengan sorot mata tenang dan senyum sabar, menyambut setiap tamu dengan tangan terbuka. Ia bukan dokter, bukan pula tenaga medis bersertifikat. Namun, bagi warga sekitar dan banyak pasiennya, ia adalah penyembuh yang memahami tubuh dan jiwa manusia. Ia adalah penjaga warisan pengobatan tradisional Islam yang mulai jarang disentuh: bekam.
Dari Sunnah Jadi Jalan Hidup
“Bekam ini bukan sekadar pengobatan, tapi juga sunnah Nabi,” ujarnya membuka percakapan pada Senin siang yang terik (28/12), di serambi rumahnya yang juga menjadi ruang praktik.
Multazam memulai perjalanan bekamnya lebih dari sepuluh tahun silam. Berawal dari keprihatinan melihat warga sekitar yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, ia mulai belajar secara otodidak. Ia membaca buku-buku klasik pengobatan Islam, mengikuti pelatihan mandiri, dan berkonsultasi dengan praktisi yang lebih berpengalaman.
Lambat laun, ia mulai mencoba praktik. Awalnya kepada keluarga, lalu tetangga, hingga akhirnya dikenal luas sebagai “pengbekam kampung”. Yang membuat unik, ia tak pernah menetapkan tarif tetap. “Berapa pun yang mereka beri, saya terima. Kalau tidak ada, ya tetap saya bekam. Ini ladang amal saya,” tuturnya lirih.
Sentuhan Tradisional, Harapan Baru
Metode bekam yang dijalankan Ustaz Multazam masih sangat tradisional. Ia menggunakan alat-alat sederhana: gelas bekam berbahan plastik dan kaca, kapas, alkohol, dan pisau kecil. Prosesnya pun berlangsung penuh kekhusyukan, diawali dengan doa, lalu perlahan-lahan titik-titik bekam ditentukan dan dibersihkan.
“Tujuan utama bekam adalah membuang darah kotor dan toksin dari tubuh. Efeknya bisa dirasakan langsung: badan jadi ringan, nyeri berkurang, bahkan pikiran jadi lebih tenang,” jelasnya.
Salah satu pasiennya, Supardi, datang dari desa tetangga. Ia mengaku rutin dibekam setiap dua bulan sekali setelah sebelumnya menderita pegal-pegal dan sulit tidur.
“Engko Jeh semmaeh deh tang Roma, engko abekammah Ben bulen,” ujarnya dalam bahasa Madura. Kalimat itu, yang berarti “Andai rumah saya dekat, saya akan dibekam setiap bulan,” menjadi ungkapan rasa syukur dan harapan.
Lebih dari Pengobatan, Ini Tentang Kemanusiaan
Praktik bekam bukan sekadar proses fisik. Ada dimensi spiritual yang mendalam. Bagi Ustaz Multazam, setiap luka kecil yang dibuat saat proses pengeluaran darah adalah bagian dari penyucian jiwa. Ia percaya bahwa tubuh manusia diciptakan dengan keseimbangan, dan bekam membantu menjaga keseimbangan itu.
“Saya pernah bekam anak kecil yang sulit tidur karena trauma. Saya bekam ringan, lalu saya bacakan ayat-ayat ruqyah. Alhamdulillah, seminggu kemudian ibunya bilang anaknya bisa tidur nyenyak. Itu kebahagiaan tersendiri,” kenangnya.
Ia juga beberapa kali diundang ke desa-desa lain untuk membuka praktik bekam massal. Semua dilakukan sukarela. Dalam diam dan ketekunannya, Ustaz Multazam membangun kepercayaan, bukan hanya sebagai penyembuh, tapi juga sebagai tokoh yang dihormati karena dedikasinya pada kesehatan masyarakat.
Tradisi yang Terus Diperjuangkan
Di tengah arus modernisasi dan dunia medis yang semakin canggih, pengobatan tradisional sering kali dipinggirkan. Namun, praktik seperti bekam justru menjadi alternatif penting di tengah keterbatasan. Terlebih, bagi masyarakat pedesaan yang masih memegang erat tradisi dan nilai religius.
“Bekam adalah warisan. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Saya tidak tahu sampai kapan bisa seperti ini. Tapi selama masih ada tenaga, saya akan terus membekam,” ujarnya mantap.
Kini, Ustaz Multazam mulai mengajarkan ilmunya kepada anak-anak muda di lingkungan sekitar. Ia berharap suatu hari nanti, akan ada generasi baru yang bisa meneruskan perjuangan ini. Tidak hanya menjaga metode, tapi juga menjaga niat: menolong sesama dan menunaikan sunnah.
Penutup: Cahaya dari Dusun Sumberkara
Dari sudut kecil di Bangkalan ini, kisah Ustaz Multazam menjadi pengingat bahwa pengabdian bisa hadir dalam bentuk yang sederhana namun berdampak besar. Ia tidak membutuhkan alat canggih, tidak menunggu pengakuan. Cukup sebuah cawan bekam, tangan yang terlatih, dan hati yang tulus.
Dalam tiap tetes darah yang dikeluarkan, tersimpan harapan. Dalam tiap pasien yang sembuh, tersimpan keyakinan. Dan dalam diri Ustaz Multazam, tersimpan semangat untuk terus merawat warisan, demi kesehatan dan kemanusiaan.
Editor: [Muhlisul]
Foto: Dokumentasi Pribadi