
Surabaya – Ribuan buruh PT Pabrik Kertas Indonesia (PT Pakerin) terus menuntut hak mereka yang tertunggak. Gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) 2025 belum sepenuhnya dibayarkan, sementara perusahaan merumahkan hampir seluruh pekerja dengan hanya memberikan 10 persen gaji.
Aksi unjuk rasa sudah berlangsung berbulan-bulan. Dalam beberapa hari terakhir, buruh mendirikan tenda dan bermalam di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Mereka menegaskan aksi itu bukan bentuk perlawanan, melainkan keputusasaan akibat nasib yang tak menentu.
“Buruh tidak ikut konflik internal keluarga pendiri Pakerin. Kami hanya menuntut hak gaji, THR, dan kepastian kerja,” ujar salah satu perwakilan buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Dana Rp1 Triliun Tertahan
Masalah utama bermula dari konflik internal manajemen pasca wafatnya pendiri PT Pakerin. Tiga ahli waris terlibat perebutan kendali, sementara dana perusahaan sekitar Rp1 triliun tersangkut di Prima Master Bank. Pihak bank menolak pencairan dengan alasan legalitas, meski kuasa hukum perusahaan menyatakan dokumen pencairan sah.
Serikat buruh menduga penahanan dana dilakukan demi menyelamatkan bank yang nyaris kolaps. PT Pakerin disebut sebagai deposan terbesar. Akibat dana tak cair, operasional terhenti, gaji dan THR tidak terbayarkan, dan ribuan buruh terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Para buruh telah menggelar aksi di berbagai tempat: kantor pusat PT Pakerin di Surabaya, kantor bank, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pengadilan Negeri Surabaya, hingga kediaman direksi. Mereka juga menolak proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dinilai sarat rekayasa dan berpotensi menyeret perusahaan menuju pailit.
“Kalau sampai pailit, buruh pasti jadi korban pertama. Padahal kekayaan perusahaan ini juga dibangun dari jerih payah ribuan pekerja,” kata pengurus serikat.
Buruh mendesak Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Presiden Prabowo turun tangan. Menurut mereka, negara tidak boleh diam ketika ribuan pekerja terancam kehilangan hak hidup layak.
Peraturan perundangan jelas mengatur sanksi bagi perusahaan yang lalai membayar gaji. UU Ketenagakerjaan dan PP 35/2021 mewajibkan pembayaran penuh, disertai denda jika terjadi keterlambatan. Bahkan sanksi pidana bisa dikenakan bila terbukti ada penelantaran pekerja.
Tekanan aksi akhirnya memaksa Prima Master Bank mencairkan sebagian dana milik PT Pakerin. Uang itu ditransfer ke rekening perusahaan dan digunakan untuk membayar sebagian gaji serta THR. Namun, buruh menegaskan perjuangan belum selesai.
“Yang kami tuntut bukan sekadar pencairan sebagian. Kami ingin semua hak buruh dibayar dan perusahaan kembali beroperasi,” ujar salah satu buruh.
PT Pakerin, produsen kertas industri yang berdiri sejak 1977, pernah mencapai kapasitas produksi hingga 700 ribu ton per tahun. Kini, keberlangsungan perusahaan itu dipertaruhkan, dan nasib ribuan pekerjanya menjadi taruhannya.
Kontributor: Eko Gagak