
Surabaya – Di kamar mungil bercat biru muda itu, Raka (11) duduk memeluk lutut. Tablet yang biasanya menjadi “pintu ajaib” menuju dunia petualangan kini tergeletak di sudut meja, layarnya gelap. Sunyi.
“Dulu, tiap sore aku bisa jadi apa aja di Roblox—kapten kapal, pemburu harta karun… tapi sekarang nggak boleh lagi,” katanya lirih, matanya menerawang seperti menatap dunia yang sudah tertutup untuknya.
Bagi Raka, game bukan sekadar hiburan. Ia adalah ruang di mana imajinasi melesat tanpa batas, tempat bertemu teman-teman dari seluruh penjuru dunia. Namun, di balik keceriaan virtual itu, terselip sisi gelap yang tak pernah ia bayangkan.
Temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Kota Surabaya baru-baru ini membuka tabir: setidaknya 15 game di Roblox masuk kategori berisiko tinggi. Di dalamnya, anak-anak bisa terlibat dalam simulasi kekerasan, permainan horor yang mengganggu psikologis, bahkan interaksi yang mengarah pada perilaku tak pantas.
“Platform ini ibarat kota besar tanpa pagar. Anak bisa masuk ke lorong manapun, bertemu siapa saja, tanpa tahu apakah itu aman,” ujar Syaiful Bachri, Ketua Komnas Anak Surabaya, dengan nada tegas.
Bagi Sari (38), ibu Raka, kabar itu membuatnya dilanda dilema. Ia ingin melindungi anaknya, namun juga tak ingin merenggut kebahagiaan yang selama ini membuat Raka tertawa lepas.
“Awalnya saya cuma cabut internet. Saya pikir masalah selesai. Tapi ternyata, anak jadi lebih penasaran dan murung,” katanya, menghela napas.
Setelah mengikuti sosialisasi dari Komnas Anak, Sari belajar bahwa larangan tanpa pendampingan hanyalah jebakan. Anak akan mencari celah, bahkan bisa terjerumus lebih dalam.
Program pendampingan digital yang diperkenalkan Komnas Anak mendorong orang tua untuk memeriksa konten, menggunakan fitur parental control, dan memperkenalkan alternatif permainan yang lebih sehat.
Kini, Raka sedang asyik menjelajahi game edukasi tentang sejarah nusantara. “Kalau menang, aku bisa buka cerita tentang kerajaan Majapahit. Seru juga,” ucapnya dengan semangat yang mulai kembali.

Syaiful menutup dengan kalimat yang membekas di benak kami:
“Game itu seperti pisau. Ia bisa membantu dan membentuk, tapi juga bisa melukai. Semua tergantung siapa yang memegangnya, dan bagaimana ia digunakan.”
Di dunia nyata, Raka kembali berlari di halaman, tertawa bersama teman-temannya. Dunia digitalnya tak lagi sebebas dulu, tapi lebih aman. Dan di sanalah, cinta seorang ibu menemukan keseimbangannya—antara memberi kebebasan dan menjaga dari bahaya yang tak terlihat.
Reporter : Dannisa Putri Anoraga