
Suarabangkalan.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menegaskan bahwa barang bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hukum acara pidana dan tidak dapat dibenarkan secara hukum, tidak bisa digunakan untuk menjerat terdakwa dalam proses peradilan.
Hal itu disampaikan Fatahillah saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait Harun Masiku yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/6).
Dalam persidangan, pengacara Hasto, Febri Diansyah, menyoal sejumlah dugaan pelanggaran prinsip due process of law dalam penanganan perkara tersebut. Febri bahkan memaparkan simulasi sebuah kasus di mana penyidik disebut terburu-buru menyerahkan berkas perkara ke jaksa penuntut umum meski permintaan pemeriksaan ahli belum dipenuhi.
“Menurut saudara, sebelum bicara soal konsekuensinya, apakah ini melanggar prinsip due process of law?” tanya Febri.
Menanggapi hal itu, Fatahillah mengacu pada Pasal 116 Ayat (4) KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-VIII/2010, yang menurutnya menjadi dasar penting dalam menjamin hak-hak tersangka selama proses hukum berlangsung.
Ia menyebut bahwa meski penyidik berkewajiban menghormati hak tersangka, mereka juga berada dalam tekanan prinsip crime control, yakni upaya pengendalian kejahatan secara cepat dan efisien. Sementara itu, di pengadilan, prinsip due process of law lebih dikedepankan demi menjamin keadilan bagi semua pihak.
“Jadi nanti majelis hakim yang akan menilai apakah saksi yang dihadirkan sudah cukup atau tidak,” ujar Fatahillah.
Febri kemudian menyebut sejumlah potensi pelanggaran prosedur lainnya dalam kasus yang menjerat kliennya. Di antaranya, penyadapan yang dilakukan sebelum tahap penyelidikan, penyadapan tanpa izin Dewan Pengawas KPK, hingga penggunaan call detail record (CDR) yang belum melalui pemeriksaan digital forensik.
Selain itu, Febri juga mengkritisi peran penyelidik dan penyidik KPK yang turut menjadi saksi fakta dalam persidangan, serta penggeledahan yang disebut tidak menyasar terdakwa.
Menanggapi hal tersebut, Fatahillah kembali menegaskan bahwa keabsahan alat bukti sangat bergantung pada adanya justifikasi hukum. Jika tidak dapat dibenarkan secara hukum acara pidana, maka alat bukti tersebut tidak sah dan tidak bisa digunakan di persidangan.
“Kalau betul-betul tidak ada justifikasinya, ya tidak bisa digunakan. Dalam hukum acara kita, nilai crime control itu memang ada, tapi pembenarannya harus jelas dan tidak boleh asal,” tegasnya.
Diketahui, tim kuasa hukum Hasto menuding adanya berbagai kecacatan prosedur dalam penanganan kasus ini oleh penyelidik dan penyidik KPK, mulai dari proses penyelidikan hingga penyidikan. (H5)